Jumat, 16 Oktober 2009

beberapa contoh masalah etika dalam berbisnis.

Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika
dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas
panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.
Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya
yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana
memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih
mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan
sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah
meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu
2
klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan
tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran.
Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung
jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada
pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan
yang sudah berbelatung.
Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan
bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis,
satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang
saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan
maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek
dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan
keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi
faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.
Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat
adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era
kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage
yang sulit ditiru. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana
Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada
kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi
Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun
sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang
bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan
mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga
pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya
Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu
disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya
yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena
kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil
membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu
diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan
produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika
Serikat.
Secara jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen
di atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih besar kepada
3
perusahaan. Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku
Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki
pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih
sukses dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M
Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,
kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang
memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa
contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang
melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis
tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi
bisnis harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama
melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang
kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai
perusahaan di Indonesia.
Sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group,
sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical
Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa
pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental
compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak
profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan
investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300
perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang
berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai duatiga
kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain,
seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan
bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam
menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan
tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal
serupa (lihat Iman, 2006).
Praktik Bisnis Masih Abaikan Etika
Rukmana (2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih
cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik
bisnis tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin
meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas
4
sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur,
korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan
menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu
memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan
kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika
dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah,
pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih
cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks
bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu
untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar
konvensional, meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup
tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa
pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut.
Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika
bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula,
Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang
sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.
Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan
kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan
terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral
seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004)
berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya
tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah
tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru
sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya
dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi
membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah
etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan
wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan
di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami
masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan
moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia
5
tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan
kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan
melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah
korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah
jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian
halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan
pelanggaran hak asasi manusia.



elen (http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/(12)%20soca-anderson-etika%20bisnis(1).pdf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar